Blog

Ceritaku – ADI Conference London 2022

Bulan Juni lalu, saya berkesempatan untuk mengikuti konferensi Alzheimer Disease Internasional (ADI) 2022. Sebuah pengalaman yang berharga yang ingin saya bagikan melalui blog ALZI Ned.

Sebelum Konferensi

Akhir tahun 2021, kak Tania, kak Amalia dan saya menulis 3 buah abstrak untuk dikirimkan ke konferensi ini. Di bulan Februari kami mendapat info bila semua abstrak diterima. Satu abstrak diterima sebagai oral presentation dan dua lainnya sebagai poster presentation. Berbekal abstract acceptance ini, kami mencari beasiswa dan mendapatkan dukungan dari ALZI dan ALZI Ned untuk dapat menghadiri konferensi in-person di London.

Keputusan untuk datang beberapa hari sebelum konferensi dimulai merupakan hal yang positif bagi saya. Dulu, ketika saya belum menikah dan masih tinggal di Jogja, saya cukup sering harus bekerja di luar kota (yang cukup jauh dari Jogja) seperti di Pati, Padang, Nusa Tenggara Barat maupun Aceh. Jadi perjalanan ke London ini adalah kesempatan nostalgia bagi saya untuk berpetualang sendirian. Selain itu, saya belum pernah pergi ke London^^.

Perjalanan Rotterdam – London ternyata hanya ditempuh selama 3 jam dengan kereta. Setelah tiba di St. Pancras International, saya langsung melanjutkan perjalanan menggunakan Tube hingga East Finchley dan berjalan kaki menuju akomodasi. Di akomodasi sudah menunggu rekan-rekan dari Indonesia, kak Michael, kak Lely dan kak Irma. Esok harinya datanglah kak Amalia, kak DY, kak Tania, dan kak Fifi. Sungguh pertemuan yang mengharukan. Kami belum pernah bertemu satu sama lain secara fisik (kecuali dengan kak Amalia dan kak Tania tentunya^^), namun merasa sudah kenal lama. Kami menggunakan waktu yang ada untuk saling mengenal, mempersiapkan konferensi bersama-sama, menyusuri kota London, serta berbagi informasi tentang demensia kepada diaspora Indonesia yang tinggal di London.

Sehari sebelum konferensi berlangsung, saya juga berkesempatan untuk mengikuti meeting perwakilan Asia Pasific. Di rapat tersebut dibahas mengenai kerja sama Asia Pasific dan apa saja hal-hal yang telah dicapai dalam penanganan demensia. Pada kesempatan ini, kami juga berlatih tari Poco-Poco Ceria. Tarian ini akan kami bawakan di akhir agenda opening ceremony konferensi ADI.

Hari Konferensi

Hari 1

Kami datang lebih awal karena kami ikut dalam lomba showcase. Di dalam lomba ini, panitia menyediakan stand informasi yang bisa didekorasi. Setiap pengunjung berhak memilih stand yang paling menarik dan informatif. Kami bekerja sama menghias stand ini dengan informasi tentang Alzheimer Indonesia. Selain itu, kami juga perlu memasang 3 poster ALZI Ned. Setelah semuanya selesai, kami segera menuju ruang 175 Suite dimana opening ceremony segera dilaksanakan.

Mungkin lebih dari 400 orang menghadiri acara pembukaan konferensi secara live. Ini adalah kali pertama saya menghadiri acara yang dihadiri oleh ratusan orang setelah 2 tahun terbiasa dengan kegiatan online karena pandemi. Awalnya ada rasa canggung untuk kontak fisik dengan ratusan orang, namun pada akhirnya saya sangat menikmati dan memang kangen sekali mengikuti agenda fisik. Banyaknya harapan bagi penanganan demensia yang lebih baik mengawali acara pembukaan. Di akhir sesi, saya bersama rekan-rekan dari Indonesia dan beberapa rekan dari Asia Pasific menari Poco-Poco di atas panggung. Benar-benar pembukaan yang meriah.

Poco-poco ceria oleh Alzheimer Indonesia turut memeriahkan pembukaan ADI 2022

Ada banyak tema yang bisa diikuti dan dipelajari dalam konferensi ini, antara lain: demensia sebagai prioritas kesehatan publik; kesadaran akan demensia; diagnosis, terapi dan perawatan demensia; penelitian inovasi terkait demensia; pengurangan risiko demensia; dan juga dukungan bagi caregivers. Di hari pertama ini, saya belajar banyak dari kebijakan nasional dan global, intervensi non-farmakologis, pentingnya kerja sama di dalam komunitas serta pentingnya diagnosis dini dalam demensia.

Suasana salah satu sesi di ADI 2022

Hari 2

Peningkatan kualitas hidup orang dengan demensia (ODD) adalah salah satu tujuan dalam konferensi ini. Namun tanpa adanya kesadaran di komunitas, tujuan ini akan sulit dicapai. Di hari kedua saya belajar tentang pentingnya kesadaran komunitas atau dementia friendly communities, bagaimana kita bisa memperkuat dukungan bagi ODD, keluarganya serta caregivers.

Menjalin kontak dengan peserta lain juga menjadi tujuan ikut serta dalam konferensi ini. Saya berkesempatan untuk berkenalan serta berbagi cerita tentang demensia dengan perwakilan Alzheimer Nederland, perwakilan dari Mauritsius, Australia, India, UK, Belgia, Yordania, serta negara-negara di Amerika Latin. Peserta konferensi datang dari beragam latar belakang, seperti peneliti, pendidik, pelajar, tenaga kesehatan, pekerja seni, pemerhati demensia dan juga ODD. Saya sangat terharu melihat beberapa ODD yang terlibat aktif dalam konferensi ini.

Tania bersama Emily Ong (ADI Board dan Orang Dengan Demensia) dari Singapura di depan presentasi poster

Hari 3

Keterlibatan saya dalam kegiatan di ALZI Ned bukanlah sesuatu yang tidak disengaja. Dalam pendidikan master yang saya tempuh di Universitas Leiden, saya mempelajari tentang penuaan, kesejahteraan lansia dan organisasi lansia. Manusia tidak bisa melihat masa depan. Namun, menjadi tua adalah sesuatu hal yang sudah pasti di masa depan kita. Oleh karena itu kita bisa persiapkan dengan baik. Ketika tahun lalu saya mendengar bahwa ibu mertua saya terdiagnosis demensia, saya menjadi yakin bahwa belajar lebih dalam mengenai perawatan demensia adalah suatu kewajiban bagi saya. Dengan demikian saya bisa mempersiapkan hari tua, mendukung keluarga dengan demensia, serta meningkatkan kesadaran publik akan demensia.

Di hari ketiga konferensi saya semakin diperlengkapi dengan informasi mengenai penelitian terkait pengurangan risiko demensia dan tantangannya, support untuk ODD, serta pentingnya pelatihan bagi tenaga kesehatan maupun caregivers. Topik-topik di atas membuat saya semakin tertarik untuk mendapatkan serta terlibat aktif dalam pelatihan baik di Belanda maupun Indonesia mengenai perawatan demensia maupun komunitas ramah demensia.

Team ALZI mendapat kesempatan luar biasa di hari ketiga ini untuk melakukan workshop tentang brain gym dan Poco-Poco. Setelah hampir selama tiga hari menghabiskan sebagian besar waktu untuk belajar sambal duduk, ini adalah kesempatan bagi peserta konferensi untuk bersama-sama berolah raga. Dipandu oleh kak Lely dan kak Irma, puluhan peserta konferensi melakukan brain gym dan tari poco-poco. Gerakan salah bukanlah masalah, karena yang paling penting adalah bergerak dan bergembira bersama-sama. Di sesi ini semua bergerak dan tertawa lepas. Sebuah sesi yang ceria di penghujung konferensi formal di London.

Konferensi ADI 2022 ditutup dengan agenda pleno yang membahas tentang tantangan ke depan dalam hal data, penelitian, inovasi dan terapi. Dalam upacara penutup, peserta dihibur dengan sebuah tarian klasik. Team ALZI bersorak bahagia ketika stand ALZI diumumkan menjadi stand favorit dalam konferensi ADI 2022.

Tim ALZI Nederland dan Alzheimer Indonesia beserta pengunjung stand dari berbagai negara seluruh dunia

Setelah Konferensi

Team ALZI menutup konferensi dengan makan malam bersama. Kami memilih sebuah food court yang menyediakan berbagai macam makanan sehingga kami bisa memilih sendiri makanan kesukaan kami. Sambil makan kami berdiskusi dan berbagi mengenai hal positif serta tantangan di dalam mengikuti konferensi internasional.

Keputusan menghadiri konferensi secara in-person merupakan keputusan yang tepat bagi saya. Ada banyak hal yang bisa saya pelajari dalam perjalanan kali ini. Saya belajar menulis abstrak, mencari beasiswa, presentasi, dan kerja sama. Saya dapat kembali bertemu dan bekerja bertiga dengan kak Amalia dan kak Tania (kolega yang hampir setiap hari kontak mengurus kegiatan ALZI Ned via WA namun terpisah jarak dan waktu), berkenalan dengan rekan-rekan ALZI pusat yang juga menghadiri konferensi ini, belajar mengenai penatalaksanaan demensia dari berbagai negara, networking dan juga membawa harum nama Indonesia. Ilmu yang saya dapatkan selama konferensi tidak akan sia-sia dan akan saya praktekkan dalam memberi dukungan bagi keluarga dan lingkungan di mana saya tinggal.

Keesokan harinya saya sudah harus meninggalkan London. Pukul 06:00 pagi saya sudah meluncur ke St. Pancras International dengan Uber dan melanjutkan perjalanan pulang ke Belanda dengan kereta.

Terima kasih ALZI dan ALZI Ned untuk kesempatan ini. Terima kasih ibu Sari, Budhe, kak DY, kak Mike, kak Lely, kak Irma, kak Fifi, kak Amalia dan kak Tania untuk kenangan indahnya di London.

ALZI Nederland team ( ki-ka: Tania, Amalia dan Manik)

Salam Jangan Maklum Dengan Pikun!

Penulis

Manik Madijokromo – Kharismayekti

Achter de schermen bij een lokale gemeenschap van de Metri Budaya Group

Nederlands:

3 Juli 2022, Yogyakarta 

Vandaag was ik uitgenodigd om deel uit te maken van het gemeenschapsdienstproject van de Metri Budaya Group in het Minomartani Cultureel Centrum in Yogyakarta. De gemeenschap komt hier twee keer per week samen om het traditionele instrument de ‘Gamelan’ te bespelen. De repetitie vindt plaats in een prachtig oud pand met traditionele glas-in-lood afbeeldingen. De oudere leden van de gemeenschap worden door studenten van de Vocational College, Universitas Gadjah Mada, welkom geheten voor een praatje voordat iedereen achter zijn eigen instrument plaatsneemt. Alles ontstaat organisch, de interactie tussen leden, het vinden van hun eigen plek op de grond en het openen van hun boekjes met de ‘noten’ voor hun specifieke instrument. Ze beginnen te spelen. Een harmonieuze en gesynchroniseerde melodie verlicht de kamer. Ze zingen en spelen in volle concentratie en de groep studenten kijkt bewonderend vanaf de grond toe. Na het tweede nummer staan ​​een aantal dames spontaan op, binden hun ‘selendang’ om en maken zich klaar om te dansen. Prachtig gecontroleerde en sierlijke bewegingen laten een traditionele dans zien die helemaal synchroon loopt met de melodie van de Gamelan, ik kan bijna niet geloven dat ik naar een lokale gemeenschap kijk omdat het er zo professioneel uitziet.

Tijdens de pauze is er tijd voor een hapje en een praatje, het voelt als een gezellige familiebijeenkomst. Na de pauze zijn de studenten aan de beurt door een ‘brain game’ op het scherm voor te bereiden. Iedereen doet mee aan het imiteren van de handgebaren op het scherm die steeds sneller gaan. Dit is eigenlijk moeilijker dan je denkt, maar we lachen samen als de bewegingen te snel gaan om bij te houden. Het is bijzonder om te zien hoe jong en oud hier samenkomen, kinderen spelen, dames dansen, mannen drummen en ouderen spelen de Gamelan met verbazingwekkende gratie en het komt allemaal samen in het samen genieten van de muziek. We sluiten het evenement af met een groot applaus, een aantal uitingen van waardering en natuurlijk een groepsfoto!

Wat dit evenement zo speciaal maakt, is de versmelting van de lokale gemeenschap met traditionele muziek, maar ook met de nieuwe generatie studenten die zich ermee verbinden, ervan leren en deel gaan uitmaken van deze gemeenschap. De studenten van de Vocational College UGM bereiden elke week een andere activiteit voor en houden de community leden gemotiveerd om te komen en te blijven voor muziek. Waarmee ze proberen bij te dragen ​​aan het voorkomen van geheugenverlies en dus Alzheimer. Ondertussen leren studenten over de traditionele muziek en culturele context die betrokken zijn bij het bespelen van dit traditionele instrument, waardoor hun gevoel voor cultureel erfgoed wordt verbreed. Het is een geweldig voorbeeld van een prachtig project voor betrokkenheid van de gemeenschap

Geschreven door Kim Voogdt, stagiair bij UGM van de Universiteit Utrecht (Nederland)

‘Brain game’ verzorgd door de studenten Vocational College UGM
Muziek en dans komen samen bij de Metri Budaya Group tijdensj het spelen van de Gamelan.
Oudere leden van de gemeenschap spelen de Gamelan in het Minomartani Cultural Center.

English:

Behind the scenes at a local community of the Metri Budaya Group

Today I was invited to be part of the community service project of the Metri Budaya Group in the Minomartani Cultural Center in Jogja. The community meets here twice a week to play the traditional instrument the ‘Gamelan’. The practice takes place in a beautiful old building with traditional window glass pictures. The elderly community members are welcomed by students of the vocational college UGM for a chat before everybody takes place behind their own instrument. Everything arises organically, greetings among the members, finding their own place on the ground and opening their booklets with the ‘notes’ for their particular instrument. They start to play. A harmonious and highly synchronized melody lights up the room. They sing and play in full concentration and the group of students watches from the ground with admiration. After the second song, a number of ladies spontaneously stands up, tie their ‘selendang’ on and get ready to dance. Beautifully controlled and graceful movements show a traditional dance that is completely in sync with the melody of the Gamelan, I can hardly believe that I am watching a local community because it looks so professional.

During the break there is time for a snack and a chat, it feels like a family gathering. After the break, the students take their turn by preparing a ‘brain game’ on the screen. Everyone participates in imitating the hand gestures on the screen that go faster and faster. This is actually harder than you think, but we laugh together when the movements go too fast to keep track. It is special to see how young and old come together here, children play, ladies dance, men play the drums and the elderly play the Gamelan with amazing grace and it all comes together in enjoying the music together. We close the event with great applause, a number of expressions of appreciation and of course a group picture!

What makes this event so special is the fusion of the local community with traditional music, but also with the new generation of students who connect to it, learn from it, and become part of this community. Vocational college students prepare a different activity every week and keep the community members motivated to come and stay for music. Which in turn contributes to the prevention of memory loss and thus Alzheimer. Meanwhile, students learn about the traditional music and cultural context involved in playing this traditional instrument, broadening their sense of cultural heritage. It is a great example of a beautiful working community engagement project.

Written by Kim Voogdt, intern at UGM from Utrecht University (the Netherlands)

Brain game’ provided by the students Vocational College UGM

Music and dance come together in the Metri Budaya Group when playing the Gamelan.

Elderly community members playing the Gamelan at the Minomartani Cultural Center.

Zinvolle middag bij Raffy Breda

Nederlands:

04 mei 2022

Na enige tijd van communicatie tussen Raffy en ALZI Ned, kwamen op 4 mei 2022 Umi Lusia, Amalia en ik op bezoek in het Woonzorgcentrum Raffy. Woonzorgcentrum Raffy is een verpleeghuis in Breda dat huisvesting, verzorging, dagbesteding en thuiszorg biedt aan ouderen met een Indische en Molukse achtergrond. Toen ik op de locatie aankwam, bleek dat Umi Lusia al was gearriveerd. We hebben gewacht op Amalia’s komst terwijl we foto’s maakten van de wachtkamer waar ik heimwee van kreeg. Hoe kan het ook anders, toen ik de wachtkamer binnenkwam, trof ik onmiddellijk angklung, batik, houten poppen, en het aroma van koken, aan.

Toen we met z’n drieën compleet waren, werden we meteen begroet door Wilma Broeders. Wilma nam ons direct mee naar Raffy’s restaurant voor de lunch. Niet lang daarna kwam Astrid Coppus erbij zitten. Ik lachte me rot toen het aangeboden menu voor de lunch rijst was hahahaha. Het is ongebruikelijk dat in een Nederlands instituut een warm rijstmenu, compleet met groenten en bijgerechten, als hoofdmenu voor de lunch wordt geserveerd. We bestelden met z’n vieren witte rijst, sperziebonen, en kip paniki. Erg lekker ^^. Ik had ook de kans om twee oudere mensen te begroeten die naast onze tafel zaten en hetzelfde menu hadden besteld… ze aten gulzig en zeiden ook “het is heerlijk”. Tijdens het eten vertelden Wilma en Astrid over Raffy’s organisatie en haar geschiedenis.

Na het eten werden we uitgenodigd om rond te lopen om de situatie bij Raffy te bekijken. We zagen een heleboel ornamenten met een Indonesisch thema. Balinese schilderijen, traditionele kleding, Indonesische landkaarten, standbeelden, en nog veel meer lijken de muren en hoeken van de kamer te sieren. Ik herinner me het verhaal over opgestapelde koffers dat door Dara op ALZI Ned’s blog werd geschreven toen zij Rumah Kita bezocht. We vonden ook stapels ongeopende koffers bij Raffy.

Er was een open kamer toen we door een afdeling liepen. We werden binnengelaten door de bewoonster. Een oudere vrouw begroette ons in het Indonesisch en vertelde ons dat zij uit West-Java kwam. Umi Lusia, die goed Sundanees spreekt, knoopte onmiddellijk een gesprek aan met deze vrouw in het Sundanees. De sfeer werd erg vrolijk in de kamer. Het is fijn als we mensen vinden die in onze moedertaal kunnen communiceren.

Wilma en Astrid namen ons verder mee naar verschillende afdelingen en legden het concept van het gebouw uit om een volledig beeld te geven van de residentiële zorg voor Raffy. De laatste kamer die we bezochten was op de begane grond. Naast de fysiotherapieruimte is er een kleine kamer waar cliënten terecht kunnen voor aanvullende diensten om hun welzijn te verbeteren. Deze kamer heet “Tangan Mas”. In deze ruimte staan massagestoelen en flessen met aromatische etherische oliën. Uit verschillende studies blijkt dat massage en essentiële oliën rust kunnen brengen en een vorm van niet-medicamenteuze interventie kunnen zijn bij angst. Op dat moment stelde ik me de rust voor van het liggen op een massagestoel, het genieten van de aanraking van een schoudermassage, het ruiken van de geur van aromatische oliën en het denken aan het naar Yogyakarta gaan op becak om gudeg te kopen. Aaah ik kreeg gelijk weer heimwee.

Toen we klaar waren met rondwandelen, keerden we terug naar het restaurant en hoorden het geluid van muziek. Mensen verzamelden zich rond een man die op zijn keyboard speelde. Er bleek vandaag muziek op de agenda te staan. Ik waagde het meteen om te vragen of hij me kon begeleiden bij het zingen van Bengawan Solo hahaha. Hij zei dat hij dat kon en dat het lied nog niet gezongen was. Dus ik ging zingen voor het personeel van Raffy, oma’s en opa’s. Ik probeerde op dat moment naar sommige gezichten te kijken. Iedereen was blij. Sommigen zongen mee, anderen bewogen hun handen als dansers. Het samen zingen in Raffy werd mijn kostbare ervaring vandaag.

Thuis … dat was wat me bezighield toen we afscheid namen van Wilma en Astrid. Raffy is een huis geworden dat de ouderen herinnert aan de plaats waar ze geboren of getogen zijn in Indonesië. Raffy brengt een vleugje cultuur in de ouderenzorg om het welzijn van de ouderen te verbeteren.

De geur van de keuken, de vriendelijkheid van het personeel en de bewoners hebben ons ertoe gebracht dit bezoek af te sluiten. We vergaten gelukkig niet om nog een foto te nemen met een becak als Indonesisch icoon. Dit bezoek was voor mij zeer gedenkwaardig. Helaas sluit de winkel die souvenirs verkoopt vroeg op woensdag hahahaha, dus ik kwam niet thuis met Indonesisch eten/snack, maar zijn er veel positieve verhalen over de ouderenzorg. Het zou jammer zijn als deze verhalen er niet werden opgeschreven en verspreid onder veel mensen.

Dank je, Raffy. Met dit bezoek hopen we in de toekomst samen te werken om de kwaliteit van leven voor ouderen met een Indonesische achtergrond in Nederland te verbeteren. Tot een volgende keer.

Bahasa Indonesia:

Siang bermakna di Raffy Breda

4 Mei 2022

Setelah beberapa waktu terjalin komunikasi antara Raffy dan ALZI Ned, pada tanggal 4 Mei 2022, Umi Lusia, Kak Amalia dan saya datang mengunjungi Woonzorgcentrum Raffy. Woonzorgcentrum Raffy adalah sebuah nursing home di Breda yang menawarkan hunian tinggal, perawatan, daycare dan homecare bagi orang tua dengan latar belakang Indisch dan Maluku. Ketika saya sampai di lokasi, Umi Lusia ternyata sudah lebih awal datang. Kami berdua menunggu kedatangan Kak Amalia sambil membuat foto ruang tunggu yang membuat saya rindu pulang kampung. Bagaimana tidak, karena ketika masuk ke ruang tunggu, saya langsung menemukan angklung, batik, boneka kayu dan aroma masakan.

Ketika kami bertiga sudah lengkap, kami langsung disambut oleh Wilma Broeders. Wilma mengajak kami langsung menuju restaurant Raffy untuk makan siang. Tidak lama kemudian, Astrid Coppus datang bergabung. Saya tertawa bahagia ketika menu yang ditawarkan untuk makan siang adalah nasi hahahhahaha. Jarang menu nasi panas lengkap dengan sayur dan lauk disajikan sebagai menu utama makan siang di institusi Belanda. Kami berempat memesan nasi putih, sayur buncis dan ayam paniki. Enak sekali^^. Saya juga sempat menyapa dua lansia yang duduk di sebelah meja dan memesan menu yang sama … mereka makan dengan lahap dan juga mengatakan “het is heerlijk”. Sambil makan Wilma dan Astrid bercerita mengenai organisasi Raffy dan sejarahnya.

Selesai makan, kami diajak berkeliling untuk mengetahui situasi di Raffy. Kami melihat banyak ornamen bertemakan Indonesia. Lukisan Bali, baju daerah, peta Indonesia, patung dan banyak lagi tampak menghiasi dinding dan sudut ruangan. Saya ingat cerita tentang koper yang tertumpuk yang dituliskan oleh kak Dara di Blog ALZI Ned ketika dia berkunjung ke Rumah Kita. Tumpukan koper yang tidak terbuka juga kami temukan di Raffy.

Di saat kami berkeliling ruangan, ada sebuah kamar terbuka dan kami dipersilakan masuk. Perempuan lanjut usia menyapa kami dengan bahasa Indonesia dan bercerita kalau beliau dari Jawa Barat. Umi Lusia yang pandai berbahasa Sunda langsung ngobrol dengan bahasa Sunda. Suasana menjadi ceria sekali di kamar tersebut. Senang rasanya bila kita menemukan orang yang bisa berkomunikasi dengan bahasa ibu yang kita kuasai.

Wilma dan Astrid membawa kami ke beberapa ruangan, menjelaskan konsep bangunan untuk memberi gambaran utuh mengenai woonzorg Raffy. Ruangan terakhir yang kami kunjungi berada di lantai dasar. Berdekatan dengan ruang fisioterapi, ada ruang kecil dimana klien dapat mengakses pelayanan tambahan untuk meningkat kesejahteraan mereka. Ruangan ini bernama “Tangan Mas”. Di ruang ini terdapat kursi pijat dan botol-botol minyak esensial aromatis. Berdasarkan beberapa penelitian, pijat dan minyak esensial bisa memberi ketenangan dan menjadi salah satu bentuk intervensi non farmakologis untuk kecemasan. Saat itu saya membayangkan tenangnya berbaring di kursi pijat, menikmati sentuhan pijat di pundak, mencium bau minyak aromatis dan pikiran melayang ke Yogyakarta beli gudeg naik becak. Aaah aku kembali rindu kampung halaman.

Selesai berkeliling, kami kembali ke restaurant dan mendengar suara musik. Orang berkumpul mengelilingi seorang pria yang sedang memainkan keyboard nya. Ternyata ada agenda musik hari ini. Saya langsung memberanikan diri bertanya apakah beliau dapat mengiringi saya bernyanyi Bengawan Solo hahaha. Beliau bisa dan lagu tersebut juga belum dinyanyikan. Jadilah saya bernyanyi di depan Oma, Opa dan para staff Raffy. Saya mencoba melihat ke beberapa wajah saat itu. Semua bahagia. Sebagian ikut berdendang, sebagian menggerakkan tangannya layaknya penari. Bernyanyi bersama di Raffy menjadi pengalaman berharga saya hari ini.

Rumah … ini yang ada di benak saya ketika kami berpamitan dengan Wilma dan Astrid. Raffy sudah menjadi rumah yang mengingatkan para lansia akan tempat dimana mereka lahir atau dibesarkan di Indonesia. Raffy menghadirkan sentuhan budaya dalam perawatan lansia untuk meningkatkan kesejahteraan lansia.

Aroma masakan, ramah tamah para staff dan penghuni mengantar kami untuk mengakhiri kunjungan ini. Foto dengan becak sebagai ikon Indonesia tak lupa kami lakukan. Kunjungan kali ini sangat berkesan bagi saya. Sayangnya toko yang menjual oleh-oleh tutup cepat pada hari rabu hahahahaha, jadi saya pulang tidak membawa oleh-oleh makanan/snack Indonesia, namun banyak cerita positif tentang layanan lansia. Sayang sekali jika cerita-cerita ini tidak ditulis dan disebarkan ke banyak orang.

Terima kasih Raffy. Dengan kunjungan kali ini, kami berharap bisa bekerja sama di masa depan untuk meningkatkan kualitas hidup lansia dengan latar belakang Indonesia di Belanda. Sampai jumpa lagi ..

anik Madijokromo – Kharismayekt

Community and Communication Coordinator

Stichting Alzheimer Indonesia Nederland

Aku tidak mau pikun!

PPME Al Ikhlash Amsterdam
19 Juni 2022

Pengajian Hari Minggu PPME Al Ikhlash Amsterdam (PPME AIA) mengundang ALZI Ned untuk mengisi agenda edukasi kesehatan pada tanggal 19 juni 2022. Topik mengenai kesehatan otak dan mengenal demensia dibahas dalam agenda yang dihadiri oleh 25 jemaah ini. Acara dimulai setelah sholat dhuhur bersama. Manik mengawali kegiatan edukasi dengan perkenalan serta pemaparan materi. Sebelum menuju ke sesi tanya jawab, peserta diajak untuk melakukan Brain Gym bersama dengan panduan video dari ALZI. Ibu Shirley Iskandar mendapat kesempatan di sesi berikutnya untuk menceritakan pengalamannya dalam memberi support kepada ibu tercinta, orang dengan demensia. Sharing yang menyentuh hati diikuti dengan sesi diskusi.

Banyak pertanyaan dari Jemaah PPME AIA yang membuat diskusi berjalan sangat dinamis. Acara dilanjutkan dengan rencana aksi peserta untuk mempraktekkan komunitas ramah demensia di komunitas mereka. Beberapa rencana aksi yang tercetus adalah: ingin menyebarkan informasi yang baru saja mereka terima kepada Jemaah lainnya, membuat agenda ngopi bersama lansia, serta melakukan kunjungan bagi Jemaah lansia. Seperti dalam agenda di komunitas Indonesia lainnya, acara diakhiri dengan ramah tamah ditemani makanan khas Indonesia☺️.

Semoga program edukasi kesehatan ini bermanfaat dalam meningkatkan kesadaran akan demensia, kepeduliaan akan sesama dan mendukung peningkatan kualitas hidup orang dengan demensia dan keluargan


Salam Jangan Maklum Dengan Pikun!💜

( Manik Madijokromo – Kharismayekti )

Melody Memory Project – Bali

Melody Memory Project began as a programme initiated by Alzheimer Indonesia Nederland (ALZI Ned) to spread dementia awareness amongst the elderly community in Bali through Gamelan, a traditional music ensemble, practice. Over time, it has evolved into a sustainable programme with private-public-community partnership at its heart, being met with overwhelming enthusiasm and support from both participants and local government officials alike.

As previously mentioned, the occasion through which increased dementia awareness is being built is practice sessions of the Gamelan, a traditional music ensemble which holds great cultural significance in Bali, and particularly Pinda village where this project is being held. Not only is playing the instruments considered a leisurely activity, but it is also widely regarded as a religious act. However, there seems to be a lack of available opportunities for retired musicians/gamelan players to engage in Gamelan practice. Thus, this Melody Memory Project, also referred to as MMP, gave these retired elderly the opportunity to engage in an activity which is enjoyable, socially interactive, and yet can also enhance cognitive function.

MMP was officially kicked off on Indonesia’s National Elderly Day (HLUN) 2021. Though there were only 30 participants (ages 58-77 yo) officially registered in the programme, many other village elderly showed up during practice sessions and health screenings, making each occasion even more lively. The plan was for there to be a weekly gamelan practice conducted at the Pinda village community centre, in Gianyar, Bali. Each session would be preceded with dementia awareness session (e.g. sharing the 10 early signs of Alzheimer’s, brain gym) by ALZI Ned volunteers. There would be health screenings once every two weeks (i.e. blood pressure/ blood sugar check, hearing problem) and a cognitive assessment would be conducted twice (at the beginning and end of the programme) using the Mini Mental State Examination (MMSE).

Of course, this is what we at ALZI Ned planned would happen. MMP faced many unanticipated hurdles and roadblocks in the form of regional lockdowns and PPKM measures (restrictions imposed during the pandemic by the government) which meant practice sessions were not allowed to occur. Regardless, these setbacks did little to dampen the spirits of the elderly, who enthusiastically returned to practice when these restrictions were finally lifted. Ten practice sessions (each for 2 hrs), 6 health screenings (in collaboration with ALZI Ned, ALZI Bali, and local ‘puskesmas’ public health centre volunteers) and 3 performances (in commemoration of World Alzheimer Month and HLUN) were conducted in cooperation with the local government authorities.

All of these occasions provided opportunities for us to not only reach the elderly who participated, but also to raise awareness amongst the village officials and other village residents who came to witness the performances/take part in the health screenings, as well as conduct risk reduction brain gym activities. MMP also witnessed intergenerational collaboration when the youth were tasked to perform traditional Balinese dances whilst the elderly played the Gamelan. Overall, the success of this programme can be entirely attributed to the community partnership which took place. Between local village officials, volunteers from the public health centre, the village elderly and youth, as well as the local ‘sanggar’ dance group, MMP has enabled strong collaboration amongst these community members. As such, MMP has evolved from being facilitated by ALZI Ned to something that has officially been adopted into the village agenda. Further continuity of this now sustainable programme will be supported by the government, and local village officials have also pledged their commitment to providing a place for dementia screenings to be conducted twice a year.

Due to the success of MMP in Bali, ALZI Ned is in the process of adopting this programme in other regions of Indonesia. Though the programme in Bali cannot be entirely replicated as different elderly communities in Indonesia have certain cultural differences which require varying approaches. At present, we have kick started MMP in Yogyakarta in collaboration with the local arts foundation and Gadjah Mada University. So don’t forget to look out for future updates and performances from the elderly of Melody Memory Project! See you in Jogja!

Written by Sabina K Zildji & Tania Setiadi

Create a website or blog at WordPress.com

Up ↑